
Beranjak remaja, Kimung melihat sebuah transisi zaman. Pabrik tekstil mulai dibangun. Petani beralih profesi menjadi buruh. Lahan makin berkurang dan Ujung Berung kian ramai.
"Saya ingat sering latihan pramuka dan main sepeda di lapangan dekat rumah. Tapi karena banyak bangunan baru, main jadi semakin jauh ke atas gunung," kata ayah satu anak ini saat ditemui Senin (27/2).
Transisi dari tipe agraris ke industri ini meninggalkan masalah budaya tersendiri. Salah satunya premanisme mulai banyak bermunculan. Tapi beruntung, anak muda Ujung Berung mengenal musik metal. "Saya yang disetel lagu cianjuran waktu masih SD, mulai dengar musik-musik The Doors, ABBA, The Beatles, dan NKOTB. Lalu SMP baru dengar lagu-lagu Metallica dan Guns n Roses," lanjutnya.
Kimung kemudian tertarik pada musik metal karena suaranya yang keras dan iramanya yang cepat. "Beda dengan lagu-lagu zaman Selekta Pop, metal itu menarik. Saya bertanya-tanya, gimana cara mereka maininnya ya?" lanjutnya.
Berdasarkan ketertarikan itu, Kimung lantas bergabung dengan komunitas metal Bedebah di Bandung, Jawa Barat. Tak lama kemudian, ia juga mendirikan gerakan sejenis di Ujung Berung bernama Extreme Noise Grinding. Tujuannya sederhana, yaitu ingin membangun musik metal di Bandung.
Dari situ, terbentuklah cikal bakal gerakan bawah di Ujung Berung. "Untuk membangun musik metal, kita membentuk kelompok kru pendukung band bernama Homeless Crew, membuat pergelaran musik sendiri bernama Bandung Berisik, dan membuat media sendiri dengan nama Revograms," jelas Kimung. Revograms lantas disebut-sebut sebagai zine--bentuk publikasi sederhana seperti buklet atau majalah berupa fotokopian--pertama di Indonesia.
Dari sana, band metal bermunculan. Data terbaru dari Bandung Death Metal Syndicate mencatat bahwa jumlah band metal di Bandung sudah mencapai 160 band. Angka ini sebanding dengan jumlah band metal yang ada di seluruh daratan Eropa.
"Bisa dibilang, musik metal jadi saluran yang tepat bagi anak muda Ujung Berung dalam transisi budaya yang terjadi di sana," kata Kimung.
Tak hanya itu, gerakan do it yourself (DIY) juga menjamur. Ujung Berung disebut-sebut menjadi pionir industri clothing Bandung yang kemudian marak dikenal sebagai distro.
"Ini menjadi sebuah prinsip yang kami pegang bahwa musik metal itu sebetulnya bisa menghidupi dirinya sendiri. Kita waktu itu mulai membuat sistem dan bisnis clothing-merchandising jadi salah satu salurannya," tutur pemain bas ini. Tidak negatif
Satu persepsi yang beredar di masyarakat adalah musik metal selalu dianggap negatif. Ia juga identik dengan minuman keras, narkoba, dan gaya arogan. Persepsi itu sudah seperti warisan dan masih ada sampai sekarang.
Kimung membuktikan bahwa scene musik metal di Bandung tidaklah demikian. Prinsip mereka adalah manggung tanpa narkoba, alkohol, dan kekerasan. "Boro-boro narkobaan, kebeli juga enggak," kata pria yang baru saja menginjak usia 34 tahun dua hari lalu.
Dalam komunitas metal di Ujung Berung, nilai agama menjadi salah satu kelebihan yang dijaga kuat. Tak mengherankan kalau para rocker rajin mengaji dan salat di masjid. Iman menjadi kekuatan dan musik metal jadi saluran berkarya yang bebas.
"Musik metal mengubah anak muda Ujung Berung secara radikal. Metal itu bukan hanya musik, tapi ada banyak nilai-nilai hidup yang diajarkan. Dengan adanya stigma itu, komitmen kami justru jadi lebih besar untuk membuktikan bahwa metal di Bandung tidak seperti itu," ujar pria yang sempat tergabung dalam band Anal Vomit, Disinherit, Burgerkill, dan The Clown. Kini, Kimung masih rajin bermain dalam band Sonic Torment, Nicfit, Karinding Attack, Paperback, dan Voos.
Karinding
Selain giat membangun musik metal Bandung, Kimung pun tak mau meninggalkan akar budaya. Sejak 2008, ia membentuk kelompok musik Karinding Attack yang semuanya menggunakan alat musik bambu seperti kecapi awi, celempung, dan karinding.
Ia juga punya band Paperback yang mengolaborasikan musik bambu dengan sentuhan gitar modern. "Keadaannya cukup memprihatinkan. Bahkan dulu, alat musik karinding sudah digosipkan punah," katanya.
Selain memiliki pengaruh musik keras, Karinding Attack juga mengadopsi pola musik hardcore metal. Liriknya pun digarap bebas layaknya musik keras. Dari urusan cinta hingga politik bisa dikombinasikan dengan leluasa. "Kalau ada istilah heavy metal, musik karinding juga tak mau ketinggalan. Musiknya dinamai happy bamboo," canda Kimung.
Bulan depan, Karinding Attack yang kerap manggung di Jakarta dan Bandung ini berencana mengadakan konser tunggal. Nantinya, juga akan tur keliling Jawa Barat untuk mempromosikan kembali alat musik yang sudah sepi peminat itu.
"Saya melakukan ini murni karena suka. PR saya adalah membuat musik dengan bagus. Kalau dianggap ikut melestarikan seni sunda, ya itu bonus saja," katanya bersahaja. (M-3)
Bookmark this post: |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar